STATUS KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
"Bergabung Bukan Berarti Melebur"
Sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Kasultanan Yogyakarta memiliki status sebagai
“Kerajaan vasal/Negara bagian (Dependent
state) dalam pemerintahan penjajahan
mulai dari VOC, Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC
(Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara
Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut
disebut sebagai Zelfbestuurende
Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk
mengatur dan mengurus wilayah (negaranya)
sendiri di bawah pengawasan pemerintah
penjajahan tentunya.
Setelah
Proklamasi 17 Agustus 1945, meskipun Yogyakarta dapat saja menjadi negara yang
merdeka, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memutuskan untuk menjadi bagian istimewa dari
Indonesia. Masing-masing tokoh ini, secara terpisah tetapi dengan format dan
isi yang sama, mengeluarkan Maklumat
tertanggal 5 September 1945 yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan
Presiden Republik Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan
integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memilih status keistimewaan.
Dengan
dikeluarkannya maklumat pada tanggal 5 September 1945 tersebut maka Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman berintegrasi
menjadi satu kesatuan pemerintahan bersama dengan dikeluarknnya Dekrit Kerajaan Bersama yang
dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1950 yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif
pada BPKNI Daerah Yogyakarta Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah
selama lebih dari
100 tahun. Kemudian
Yogyakarta menjadi sebuah daerah Provinsi Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 dan berlaku pada tanggal
15 Agustus 1950.
Berdasarkan
sejarah kenegaraan tersebut maka memang sudah tepat jika Yogyakarta menyandang
status sebagai sebuah daerah istimewa. Keistimewaan Yogyakarta sebenarnya dapat
dilihat secara sepintas pada proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Jika melihat Amanat Kasultanan Yogyakarta 5 September 1945 dan Amanat Kadipaten
Paku Alaman Dictum 2, maka jabatan Kepala Daerah tetap berada di tangan Sultan atau Adipati.
Seiring dengan perubahan situasi politik, khususnya pasca reformasi,
demokrasi dan otonomi daerah menjadi isu krusial. Hal tersebut tentu saja
berimbas pada eksistensi Propinsi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Makna
keistimewaan Yogyakarta kembali dipertanyakan, terutama berkaitan dengan
jabatan Gubernur beserta mekanismenya. Mekanisme penetapan untuk jabatan Gubernur
di DIY sebagaimana selama ini dilaksanakan oleh sebagaian kalangan dianggap
sudah tidak sesuai lagi dengan asas demokrasi sebagai spirit reformasi. Namun
di lain pihak, penetapan merupakan harga mati dan merupakan salah satu bentuk
keistimewaan Yogyakarta.
Sebagai upaya untuk
memperjelas status Keistimewaan Yogyakarta disusunlah Rancangan Undang-Undang
(RUU) Keistimewaan Yogyakarta. Pro dan kontra muncul dari RUU ini. Permasalahan yang cukup krusial dan sensitif dari RUU ini
adalah terkait dengan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi
DI Yogyakarta yang diusulkan oleh Pemerintah Pusat. Pihak keraton dan sebagian
masyarakat Yogyakarta pro-penetapan menghendaki posisi jabatan gubenur dan
wakil gubenur di Yogyakarta melalui mekanisme penetepan, sedangkan dari pemerintah
pusat dan pihak yang tidak setuju dengan penetapan menghendaki posisi gubenur
dan wakil gubenur Yogyakarta melalu mekanisme pemilihan umum. Hal ini lah yang
membuat RUU Keistimewaan Yogyakarta belum bisa ditetapkan oleh pemerintah
karena pembahasan RUU tersebut masih debatable.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang menjadi permasalahan adalah maksud dari
daerah Istimewa bagi propinsi Yogyakarta. serta mengenai mekanisme penetapan untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DI
Yogyakarta. Dari kedua hal tersebut menimbulkan kesan
inkonstitusional karena bertentangan dengan prinsip pemilihan secara demokratis
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18A Ayat (4) UUD 1945, namun sebaliknya jika
mekanisme pemilihan umum yang digunakan, maka hal tersebut sama dengan menghilangkan makna "istimewa" dari status Daerah Istimewa Yogyakarta dan
bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 yaitu bahwa negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Ini hanyalah sebuah wacana yang saya tangkap dari adanya polemik tentang "keistimewaan" Yogyakarta yang sampai sekarang belum ada kejelasannya, oleh karena pembahasan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta (RUU-KY) selalu berhenti di tengah jalan.
Meskipun, seharusnya Status Keistimewaan Yogyakarta ini tidak perlu diperdebatkan oleh karena "kontrak" politik saat pembentukan NKRI memang mengakui adanya keistimewaan untuk Yogyakarta. Dengan demikian semangat "Bergabung Bukan Berarti Melebur" memang wajar untuk tetap diperjuangkan.
(Terima kasih untuk semua sumber yang menjadi catatan kaki dalam tulisan ini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar